Laman

Jumat, 17 Oktober 2014

PRIORITAS

Tarbiyah, kata itu seolah tidak terpisahkan dengan kehidupanku sejak 6 tahun silam. Ya, sejak mengenalnya, hidupku berubah hampir 360 derajat alias berubah total. Sejak mengenalnya pula, aku dipertemukan dengan orang-orang hebat. Yang menghabiskan harinya hanya untuk dakwah. "Setiap gerak kita, setiap langkah kita niatkan untuk dakwah, sekecil apapun itu", ucap seorang ustadz dalam suatu daurah beberapa tahun silam.


Dan tarbiyah pun memberi banyak keajaiban dalam hidupku, yaa...setidaknya menurutku. Pernah satu kali, saat aku duduk di sem 4, 2 minggu sebelum ujian akhir semester aku mendapat 'perintah' untuk mengikuti DM2 atau pelatihan kepemimpinan tingkat 2 pada organisasi yang kugeluti. Awalnya aku ingin menolak, aku tidak memiliki banyak waktu untuk membuat karya ilmiah sebagai salah satu syarat mengikuti pelatihan ini, belum lagi tugas kuliah yang menumpuk, makalah-makalah yang antri untuk diselesikan yang sudah menjadi adat istiadat dikampusku dimana ketika menjelang ujian banyak tugas dadakan yang harus segera diselesaikan.

Tapi yang kudapat adalah perintah, maka sami'na wa atho'na pun kupilih. Toh, memang seperti inilah dakwah, pengorbanan adalah suatu keniscayaan. Dengan senang hati, aku terpaksa membolos beberapa mata kuliah. Bahkan pada beberapa mata kuliah yang crusial. Sebagai mahasiswa yang baik, akhirnya kuputuskan membawa beberapa buku mata kuliah yang akan diujikan di hari senin.

3 malam 4 hari ditempa pada pelatihan DM2, jangankan membaca buku matkul, membukanya saja tidak sempat. Bahkan kami hanya bisa beristirahat 2-3 jam perhari. Ahad, tepatnya pukul 9 malam aku sampai dikosan sepulang dari pelatihan. Kupaksakan badan yang sudah remuk redam mencuci beberapa pakaian, maklumlah, jumlah pakaian yang kukunya sangat terbatas, jika tidak mencuci malam ini, besok aku tak kan bisa mengikuti ujian. Heeeeee.

Ya, tepat pukul 12 malam akhirnya akupun bisa istirahat. Kuraih buku psikologi klinis, berharap bisa membacanya sebagai bekal ujian besok. Pukul 5.10 aku baru terbangun, kelelahan membuatku bangun kesiangan, dan ternyata buku psikologi klinis ini hanya menjadi bantal semalaman. Aku sempat panik, ini pertama kali aku ujian tanpa tau apa isi buku yang sudah kumiliki beberapa bulan yang lalu. Yang kutau, didalamnya banyak istilah psikologi yang harus kuhapalkan.

Mengambil ujian susulan terlalu berisiko, akhirnya kuputuskan tetap menghadapi ujian dengan apa yang ku punya, atau lebih tepatnya tanpa bekal apapun kecuali keyakinan atas pertolongan Allah. Hee.

Tiiiiiiiittttt, suara yang memekakkan telinga itu pertanda ujian akan dimulai. Dan aku hanya sempat membolak balik buku sambil membaca beberapa lembar yang sempat kubaca. Buku tebal ini, tak mungkin sempat kubaca semua, bahkan untuk membolak baliknya saja mungkin tidak sempat. Apalah daya, soal dan lembar jawaban sudah di depan mata. Mau mencontek, aku sudah terlanjur berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mendekati dunia percontekan.

Kutatap lekat soal demi soal, tak ada yng bisa kumengerti. Nihil pikirku. Kucoba bersemedi mengharap ada ilham, akhirnya akupun sempat tertidur sesaat, mungkin juga karena masih kelelahan, heeeheee.

Aku terbangun, dan waktu yang kumiliki tinggal 30 mnt. Di sinilah keajaibanNya kurasakan. Mungkin. Setelah membaca ulang kembali soalnya, ternyata sebagian besar soal yang ada tepat dengan materi yang kubaca. Beberapa lembar materi itu ternyata adalah soal yang tertuang di kertas ini. Akhirnya dengan ingatan yang samar-samar kujawab soal demi soal, hingga akhirnya aku mendapat nilai yang bahkan tidak kuharapakan, A.

In tansurullaha yansurkum, janji Allah itu memang nyata.

^Kutulis disela-sela penantian mutarobbi yang tidak kunjung datang karena kesibukan kuliah dan atau kerja. Mencoba mengingatkan diri kembali arti sebuah pertemuan dalam lingkaran atas nama cinta pada Ilahi.

Ahad, 05 oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar